Mengejutkan! Tutupan Hutan Hulu Bali Hanya Kurang dari 4 Persen, Picu Banjir Dahsyat di Pulau Dewata?
Menteri LH Hanif Faisol Nurofiq mengungkapkan tutupan hutan hulu Bali sangat minim, kurang dari 4 persen, diduga kuat menjadi pemicu banjir ekstrem. Apa dampaknya?
Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq mengidentifikasi tutupan hutan di daerah aliran sungai (DAS) hulu Bali tergolong sangat minim. Kondisi ini diperkirakan menjadi salah satu pemicu utama banjir yang melanda tujuh kabupaten/kota di Pulau Dewata, selain faktor cuaca ekstrem.
Identifikasi ini disampaikan Menteri Hanif saat memberikan edukasi lingkungan kepada pelajar di Sekolah Rakyat Menengah Pertama 17 di Tabanan, Bali, pada Sabtu, 13 September. Temuan ini menyusul bencana banjir dan tanah longsor ekstrem yang terjadi pada Rabu, 10 September dini hari.
Dengan tutupan hutan yang kurang dari empat persen, kemampuan DAS untuk menyerap air menjadi sangat terbatas. Akibatnya, Bali menghadapi tantangan serius dalam mitigasi bencana hidrometeorologi yang dapat menyebabkan kerugian besar.
Kondisi Kritis Tutupan Hutan di Hulu Bali
Menteri LH Hanif Faisol Nurofiq secara rinci menjelaskan kondisi kritis tutupan hutan di DAS hulu Bali, termasuk kawasan Gunung Batur. Vegetasi hijau yang berfungsi sebagai penyerap air dan penguat tanah sangatlah minim, yakni kurang dari empat persen.
Ia merinci dari sekitar 49 ribu hektare area DAS, tutupan hutan yang efektif hanya mencakup kurang dari 1.200 hektare. Angka ini menunjukkan defisit yang signifikan dalam perlindungan ekosistem hulu dan memicu kekhawatiran akan stabilitas lingkungan.
Kondisi ini mendesak semua pihak untuk segera melakukan upaya pembenahan lanskap Bali secara menyeluruh. “Kami memang harus mengubah semua detail rencana lanskap kita,” kata Menteri LH Hanif Faisol Nurofiq.
Minimnya tutupan hutan ini secara langsung berkontribusi pada kerentanan wilayah terhadap bencana alam. Khususnya, risiko banjir dan tanah longsor meningkat drastis akibat kurangnya vegetasi penahan air dan pengikat tanah.
Tantangan Sampah dan Penegakan Hukum Lingkungan
Selain masalah tutupan hutan, Menteri Hanif juga menyoroti tantangan serius dalam pengelolaan sampah di Bali, terutama di sisi hilir. Timbulan sampah yang tidak tertangani dengan baik seringkali menyumbat daerah drainase, memperparah dampak banjir.
Oleh karena itu, diperlukan perubahan total dalam pendekatan pengelolaan sampah, mulai dari sumbernya. Pemerintah daerah di Bali didorong untuk mengurangi sampah plastik, seperti pelarangan produksi air kemasan di bawah satu liter.
Pengelolaan sampah dari hulu hingga pembatasan penggunaan plastik sekali pakai menjadi langkah krusial. “Kalau tidak didukung kita semua, tidak akan selesai (soal sampah). Jadi, perlu menggerakkan semua komponen yang ada, masyarakat, pemerintah, dunia usaha, NGO, media, semua wajib, harus bersama-sama,” ucapnya.
Lebih lanjut, Menteri LH menyatakan kesiapan untuk mendukung Gubernur Bali Wayan Koster dalam penegakan hukum terkait alih fungsi lahan. “Kami sudah sampaikan kepada Gubernur Bali kalau memang diperlukan, kami akan turun untuk melakukan penegakan hukum maupun penguatan data lingkungan,” ucapnya.
Dampak Bencana dan Status Tanggap Darurat di Bali
Bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi pada 10 September dini hari telah melanda tujuh kabupaten/kota di Bali. Wilayah yang terdampak meliputi Kota Denpasar, Jembrana, Gianyar, Klungkung, Tabanan, Karangasem, dan Badung.
Hujan dengan kategori ekstrem yang berlangsung sejak sehari sebelumnya menjadi pemicu utama bencana ini. Curah hujan yang tinggi ditambah dengan kondisi lingkungan yang rentan memperparah situasi dan menyebabkan kerusakan luas.
Berdasarkan data sementara BPBD Bali per Jumat, 12 September, tercatat 17 orang meninggal dunia dan lima korban masih dalam pencarian. Angka ini menunjukkan skala dampak yang signifikan dari bencana tersebut terhadap masyarakat.
Saat ini, Pulau Dewata masih berada dalam status tanggap darurat selama sepekan, yang berlaku hingga 17 September 2025. Status ini diberlakukan untuk mempercepat penanganan dan pemulihan pascabencana, terutama di wilayah Bali bagian selatan yang paling terdampak.