Kisah Heroik Siti Fatimah, Pejuang Perempuan Kemerdekaan RI yang Jadi Mata-Mata Cilik di Kuningan
Waktu seakan bergulir ke masa lalu ketika Siti Fatimah (95) menuturkan pengalamannya di Kuningan, Jawa Barat, pada 1947.
Waktu seakan bergulir ke masa lalu ketika Siti Fatimah (95) menuturkan pengalamannya di Kuningan, Jawa Barat, pada 1947. Di usia 15 tahun, ia bukan hanya menyaksikan gejolak bangsa yang tengah mempertahankan kemerdekaan dari agresi militer Belanda, melainkan ikut langsung terjun sebagai anggota Tentara Pelajar.
“Dari mulai umur 15 tahun ikut gabung di TRIP, Tentara Republik Indonesia Pelajar, waktu zaman gerilya dulu,” ujar Siti saat ditemui di rumahnya, Jalan Waluh, Lengkong, Kota Bandung.
Bagi Siti remaja, Kuningan kala itu adalah arena perlawanan. Wilayah Cisanggarung, Luragung, hingga Ciwaru—desa tempat ia dibesarkan—menjadi saksi perjuangan gerilya.
Ia didapuk sebagai kurir sekaligus mata-mata, menyelundupkan pesan rahasia di balik kaus kaki yang dikenakannya. Pesan-pesan kecil itu, yang diberikan Kapten Mustafa, ia antar dari markas gerilyawan di gunung untuk jaringan republik di kota.
“Jadi sering kalau ke daerah musuh juga, padahal kita juga bawa pesan, bawa surat kecil disimpan di kaos kaki,” kenangnya.
Berjalan 8 Kilometer, Bertaruh Nyawa
Tugas sebagai kurir tentu penuh risiko. Untuk mencapai Luragung, ia harus berjalan kaki sejauh 8 kilometer sebelum bisa menumpang truk pengangkut hasil bumi menuju kota. Pernah sekali, ia nyaris celaka saat menumpang truk milik Belanda. Di tengah perjalanan, pasukan republik menghadang, baku tembak pecah, dan nyawanya nyaris melayang.
“Padahal kalau mati pada waktu itu tuh konyol ya karena ikut naik truk Belanda, mungkin ya masih anak-anak perhitungannya gimana,” ujarnya sambil tersenyum tipis.
Keberanian itu pula yang membuatnya mendapat penghargaan Bintang Gerilya dari negara.
Pertemuan dengan Cinta Sejati
Tahun-tahun perjuangan juga mempertemukan Siti dengan sosok yang kemudian menjadi suaminya, Muhammad Tomi, seorang tentara asal Jawa Barat yang pernah hijrah ke Yogyakarta setelah Perjanjian Renville. Mereka menikah pada 1951, ketika Siti berusia 19 tahun dan Tomi 23 tahun. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai 10 anak.
Namun kebersamaan mereka terhenti pada 1973, saat Tomi wafat akibat kecelakaan. Siti kemudian melanjutkan hidup sebagai seorang ibu sekaligus pejuang yang tak pernah melupakan kenangan masa gerilya.
Pesan untuk Generasi Muda
Menjelang HUT ke-80 RI, Siti menyampaikan pesan mendalam bagi generasi penerus.
“Sudah 80 tahun sebetulnya ya pengalaman kemerdekaan ini. Tapi masih banyak kekurangan. Mudah-mudahan dengan yang muda bisa mengisi ini dengan baik,” katanya.
Ia berpesan, perjuangan hari ini tidak lagi dengan senjata, tetapi dengan tanggung jawab moral, kerja keras, dan kepemimpinan yang baik.
“Sama berjuangnya, harus berjuang lebih berat. Karena untuk mempertahankan, untuk mengisi kemerdekaan ini harus jadi, kalau jadi pemimpin, jadi pemimpin yang baik. Bagaimana saja, bidang apa saja harus kita jalankan dengan baik,” ucapnya.
Pendataan Veteran
Siti tercatat sebagai salah satu dari ratusan veteran di bawah naungan Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Kota Bandung. Menurut Staf Administrasi LVRI Kota Bandung, Putut Susanto, saat ini baru sekitar 410 veteran yang terdata. Pihaknya masih melakukan pendataan ulang karena sebagian veteran telah wafat.
“Tahun ini kita sedang menjalankan sensus pendataan untuk veteran yang ada di Kota Bandung. Cuma kan, belum selesai semua,” kata Putut.
Ia menambahkan, para veteran yang terlibat dalam berbagai peristiwa penting—seperti Bandung Lautan Api, Trikora, hingga misi perdamaian PBB—mendapatkan perhatian dari negara.
“Ada tunjangan veteran. Intinya, negara tidak melupakan jasa-jasa mereka,” ujarnya.
TEBAK SKOR GRATIS BERHADIAH UANG 1.5 JUTA RUPIAH , KLIK DISINI !!!