Wamendagri soal Putusan MK: Sistem Pemilu Jangan Digonta-ganti, Nanti Tidak Ajeg
Bima mengatakan, soal ada atau tidaknya putusan MK memisahkan pemilu itu, sebenarnya revisi tentang Undang-undang tetap berjalan.
Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto merespon, soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang kembali memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah.
Bima mengatakan, soal ada atau tidaknya putusan MK memisahkan pemilu itu, sebenarnya revisi tentang Undang-undang tetap berjalan. Karena saat ini DPR sedang memproses revisi tersebut.
"Pertama ada atau tidak putusan MK. Pemerintah saat ini bersama-sama dengan DPR sebagai pembentuk Undang-undang itu, telah memulai proses revisi undang-undang pemilu," kata dia di Jimbaran, Bali, Sabtu (5/7) sore.
"Kedua putusan MK ini, sedang kita pelajari, karena bagaimanapun juga revisi itu harus tetap selaras dan senafas dengan Undang-undang dasar, nggak boleh bertentangan," katanya.
Namun demikian, pihaknya kini sedang mempelajari secara detail soal putusan MK terkait pemisahan pemilu dan di sisi lain proses kajian revisi Undang-undang tentang pemilu tetap berjalan.
"Kita sedang pelajari secara detail. Karena kita ingin proses revisi itu nanti itu tetap berjalan dengan Undang-undang 1945. Dan dalam proses kajian ini, iya kita pun melihat muatan-muatan materai subtansi dari putusan MK tadi," jelasnya.
Sistem yang Ajeg
Selain itu, menurutnya, negara membutuhkan sistem pemilu yang berkelanjutan, bukan yang gonta-ganti setiap kali pemilu tiba.
"Dan kita melihatnya bahwa kita itu perlu sistem pemilu yang melembaga dan berkelanjutan. Bisa dibayangkan, kalau bergonta-ganti setiap pemilu maka kita tidak akan memiliki sistem yang ajeg. Jadi kerangka berpikirnya begitu," ungkapnya.
Namun, saat ditanya apakah kesimpulannya pemerintah tak setuju dengan putusan MK tentang pemisahan pemilu itu. Bima menyebutkan, kalau soal setuju atau tidak setuju belum bisa disimpulkan.
"Belum ada kesimpulan. Kan baru memulai penelitian, baru memulai pengkajian, kita akan kaji dulu. Kita berharap putusan MK ini bisa senafas dan selaras dengan Undang-undang 1945," katanya.
Rezim Pemilu
Ia menilai, terkait adanya pemisahan pemilu itu ada perbedaan pandangan pendapat terkait rezim pemilu dan MK menganggap pilkada dan pemilu adalah satu rezim.
"Karena ada perbedaan pendapat tentang rezim pemilu. MK menganggap bahwa pilkada dan pemilu itu satu rezim, menafsirkan dari original intens dari proses perubahan Undang-undang 1945," ujarnya.
Tetapi, kata Bima, berbagai kalangan juga banyak berpendapat sebaliknya. Bahwa Undang-undang 1945 itu memisahkan antara rezim pilkada dan rezim pemilu.
“Karena itu, turunan Undang-undangnya juga akan berbeda, ini kan harus selesai menafsirkan rezimnya, harus selesai proses, inilah yang dikaji bersama-sama," ujar Bima.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan memisah antara pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah mulai 2029 dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
Artinya, pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Sedangkan Pileg DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada.
TEBAK SKOR GRATIS BERHADIAH UANG 1.5 JUTA RUPIAH , KLIK DISINI !!!