Header Ads

Header ADS

Pengoplosan Beras Kejahatan Terstruktur, Layak Masuk Pidana Korupsi

 


Anggota Komisi IV DPR Johan Rosihan menyatakan, kasus beras oplosan bukan sekadar pelanggaran pidana umum, tetapi telah menjadi kejahatan terstruktur yang berdampak sistemik pada ketahanan pangan, kepercayaan publik terhadap pemerintah, dan juga stabilitas harga pangan nasional. Layak masuk ranah tindak pidana korupsi.


"Sudah saatnya negara menjadikan kejahatan pangan sebagai extraordinary crime sama dengan korupsi, terorisme, dan narkotika. Mafia pangan adalah bentuk kolonialisme gaya baru yang memiskinkan petani, menipu rakyat, dan melemahkan negara dari dalam. Kita tidak boleh ragu untuk menyeret semua pihak yang terlibat ke meja hukum, termasuk di ranah Tipikor jika ada keterlibatan pejabat dan kerugian negara," ucap dia kepada Inilah.com saat dihubungi di Jakarta, Kamis (24/7/2025).


Dia mendorong ada penelusuran lebih lanjut soal aliran dana dari praktik curang ini ke pengambil kebijakan atau penyelenggara negara. Maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus terlibat aktif melakukan penyidikan.


"Dalam konteks ini, penyelidikan tidak cukup berhenti pada aspek perdata atau perniagaan saja. Jika dalam praktiknya terbukti ada penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik atau oknum BUMN, kerugian negara melalui manipulasi data stok, subsidi, atau pengalihan beras bantuan, serta kolusi antara aparat negara dan korporasi besar dalam pengelolaan beras, maka sangat layak dan perlu kasus ini masuk ke ranah Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)," tutur Johan.


Dia mengapresiasi pernyataan tegas Presiden Prabowo Subianto yang menyebut pengoplosan beras adalah bentuk subversi ekonomi atau pembangkangan terhadap kebijakan negara.


"Ini menunjukkan negara melihat kejahatan pangan sebagai ancaman serius terhadap kedaulatan nasional, bukan sekadar pelanggaran niaga. Pernyataan tersebut seharusnya menjadi landasan politik dan moral bagi aparat penegak hukum untuk meningkatkan klasifikasi kasus ini," ungkapnya.


Asal tahu saja, sudah berulang kali Presiden Prabowo berbicara kegeramannya terhadap praktik beras oplosan yang sedang jadi buah bibir publik belakangan ini. Sejak dari Kongres PSI, peresmian Kopdes Merah Putih hingga Harlah PKB. Prabowo nampak 'mendidih' soal ini.


Dia menegaskan, keseriusannya dalam memberantas praktik curang pada tata niaga beras. Ia mengungkap permainan harga dan pengemasan ulang beras subsidi telah merugikan negara hingga Rp100 triliun setiap tahun.


“Sama dengan beras, bayangkan ya beras kita subsidi benih, kita subsidi pupuk, pabrik pupuk milik rakyat, milik negara, pestisida di subsidi, waduk-waduk dibangun oleh uang rakyat, irigasi-irigasi dibangun oleh uang rakyat, beras alat-alatnya pakai bahan bakar disubsidi oleh rakyat, begitu sudah digiling jadi beras... Yahh. Itu paket diganti beras yang disubsidi ini ditempel katanya beras premium harganya tambah 5.000–6.000, ini menurut saudara benar atau tidak?” kata Prabowo di Jakarta, dikutip Kamis (24/7/2025).


Prabowo mengatakan permainan curang ini dilakukan oleh ratusan perusahaan. Ia pun menuntut agar para pelaku kecurangan ini bisa segera mengembalikan uang negara.


“Sudah 212 perusahaan penggiling padi yang kita buktikan melanggar. Ini mereka sendiri sudah mengakui karena dibawa ke laboratorium diperiksa. Ya, ini mereka harus kembalikan uang yang mereka nikmati dengan tidak benar,” ucapnya.


Praktik semacam disebutnya sebagai kejahatan ekonomi yang merampas hak rakyat dan bertentangan dengan konstitusi. Pelakunya harus dipidanakan karena sudah berbuat kurang ajar.


“Ini adalah pidana. Ini nggak bener, ini pidana yang saya katakan kurang ajar itu, serakah. Dorongannya adalah saya dapat laporan, satu tahun dengan permainan ini ya beras biasa diganti bungkusnya, dibilang premium, dijual, ini hilang kekayaan kita, hilang Rp100 triliun tiap tahun. Rp100 triliun!” jelasnya.


Prabowo menegaskan kerugian sebesar itu bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki layanan dasar bagi masyarakat.


“Gimana enggak mendidih kita dengar itu saudara-saudara, 100 triliun. Berarti kalau saya biarkan ini terus dalam 5 tahun, kita akan hilang 1.000 triliun. Dengan 1.000 triliun kita bisa perbaiki semua sekolah di Indonesia, kita bisa bantu semua rumah sakit, semua pesantren di seluruh Indonesia. 1.000 triliun,” ujarnya. 


Naik ke Penyidikan

Dirtipideksus Bareskrim Polri Brigjen Helfi Assegaf menungkapkan kelanjutan dari penindakan dugaan praktik beras oplosan yang sedang ramai diperbincangkan hingga bikin Presiden RI Prabowo Subianto mendidih.


Dari penyelidikan terhadap 212 merek yang diungkap Kementerian Pertanian, ditemukan ada 67 perusahaan yang diduga terlibat. Rinciannya, sekitar 52 PT produsen beras premium dan 15 PT produsen beras medium


"Kemudian, menindaklanjuti hal tersebut, Satgas Pangan Polri segera melaksanakan proses penyidikan dan penyelidikan dengan membuat laporan informasi dulu," kata dia saat jumpa pers di Jakarta, Kamis (24/7/2025).


Setelah itu, Bareskrim juga melakukan pengecekan sampel ke laboratorium pengujian standar instrumen pascapanen pertanian. Saat ini baru 5 merek yang sudah keluar hasilnya. "Dari hasil penyidikan sementara ditemukan 3 produsen atas 5 merek tersebut, yaitu merek beras premium," ujar Helfi.


Saat ini, penyidik Bareskrim sudah menaikkan status penyelidikan ke tingkat penyidikan. Dari hasil investigasi, penyidik menemukan modus yang dilakukan produsen mengoplos beras dengan menggunakan alat modern ataupun manual.


"Penyidik mendapatkan fakta bahwa modus operandi yang dilakukan oleh para pelaku usaha yaitu melakukan produksi beras premium dengan merek yang tidak sesuai standar mutu yang tertera pada label kemasan yang terpampang di kemasan tersebut, menggunakan mesin produksi baik modern maupun tradisional, artinya dengan teknologi yang modern maupun manual ini yang kita temukan," ujar Helfi.


Kasus ini bermula dari temuan Mentan Andi Amran yang melaporkan 212 produsen beras diduga melakukan praktik pengoplosan kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Jaksa Agung ST Burhanuddin. Laporan ini merupakan hasil investigasi terhadap 268 merek beras bersama sejumlah pemangku kepentingan.


Dari hasil pemeriksaan 13 laboratorium di 10 provinsi, ditemukan bahwa 85,56 persen beras premium tidak sesuai mutu, 59,78 persen dijual di atas harga eceran tertinggi (HET), dan 21 persen tidak sesuai berat kemasan. “Ini sangat merugikan masyarakat,” tegas Amran, Jumat (27/6/2025).


Sebanyak empat produsen sudah diperiksa terkait dugaan pelanggaran mutu dan takaran dalam distribusi beras. “Betul, masih dalam proses pemeriksaan,” kata Dirtipideksus Bareskrim Polri, Brigjen Helfi Assegaf, kepada wartawan di Jakarta, Kamis (10/7/2025).


Brigjen Helfi menyebut empat produsen yang diperiksa adalah WG, FSTJ, BPR, dan SUL/JG, tanpa merinci materi pemeriksaan. Berdasarkan informasi yang dihimpun, WG mengacu pada Wilmar Group, FSTJ adalah Food Station Tjipinang Jaya, BPR adalah Belitang Panen Raya, dan SUL/JG merupakan Sentosa Utama Lestari (Japfa Group).


Adapun produk Wilmar Group yang diperiksa meliputi Sania, Sovia, dan Fortune. Sampel beras dikumpulkan dari berbagai wilayah, seperti Aceh, Lampung, Sulawesi Selatan, Yogyakarta, dan Jabodetabek.


Sementara itu, PT Food Station Tjipinang Jaya (FSTJ) diperiksa atas produk beras merek Alfamidi Setra Pulen, Beras Premium Setra Ramos, Beras Pulen Wangi, Food Station, Ramos Premium, Setra Pulen, dan Setra Ramos, yang sampelnya diambil dari Aceh, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Jawa Barat.


PT Belitang Panen Raya (BPR) diperiksa terkait produk Raja Platinum dan Raja Ultima, dengan sampel diambil dari Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Jawa Barat, Aceh, dan Jabodetabek. Sementara PT Sentosa Utama Lestari (SUL)/Japfa Group diperiksa terkait produk Ayana setelah pengambilan tiga sampel dari Yogyakarta dan Jabodetabek.


TEBAK SKOR GRATIS BERHADIAH UANG 1.5 JUTA RUPIAH , KLIK DISINI !!!


Diberdayakan oleh Blogger.