Header Ads

Header ADS

Dorongan Transparansi Konten Medsos Demi Lindungi Masyarakat

 


Akademisi mendorong aturan transparansi konten di media sosial. Indonesia bisa belajar dari DSA di Uni Eropa.


Kelompok akademisi melontarkan ide kepada DPR RI untuk membentuk aturan mengenai algoritma media sosial yang dikenakan kepada platform digital. Algoritma media sosial dinilai harus transparan, sebagai bentuk penguatan platform terhadap moderasi kontennya.


Dosen Universitas Multimedia Nusantara, Ignatius Haryanto Djoewanto, menyampaikan wacana ini dalam rapat dengar pendapat umum bersama Komisi I DPR terkait Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran di Senayan, Jakarta, Senin (21/7/2025).


Ia menyinggung soal aturan serupa yang diterapkan di berbagai negara, yang mengumumkan pergantian algoritma tiga bulan sebelumnya. Seperti contoh di Uni Eropa, Australia, dan Kanada.


“Sehingga kemudian ada kesempatan dari platform-platform atau perusahaan-perusahaan yang ada untuk mengikuti atau menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Dan itu artinya menyiratkan perlu adanya transparansi algoritma,” ungkap Ignatius.


Bukan berarti harus digabung dengan UU Penyiaran, para akademisi mengatakan regulasi soal platform digital bisa dipisah, mengingat model bisnis keduanya yang juga berbeda. Platform digital jenis media sosial misalnya, fokus dengan user generated content (UGC), alias memberi kebebasan pada pengguna untuk mengkreasikan konten.


Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII), Profesor Masduki, menekankan pentingnya semangat co-regulation dalam mengatur platform digital ini. Dalam artian, semua pihak baik institusi pemerintah, swasta, maupun publik harus betul-betul dilibatkan dalam mengurus atau meregulasi konten digital.


“Nah, ada satu yang mungkin juga perlu dipertimbangkan, karena di banyak negara aturan tadi itu sporadik di berbagai regulasi. Kalau kita kemudian berpikir ini semua diatur di Undang-Undang penyiaran, tampaknya ini mungkin istilahnya overconfidence ya," tutur Masduki.


"Bisa jadi ada risiko obesitas gitu, kegemukan yang diatur. Nanti bagaimana dengan kemampuan regulatornya, juga bagaimana dengan potensi tumpang tindih dengan regulasi yang lain,” tambahnya dalam forum yang sama.


Berbeda dengan lembaga penyiaran, platform digital beroperasi di luar persyaratan UU Penyiaran dan UU Pers. Oleh karena itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Ahmad M. Ramli, menyatakan jika nanti akan membuat revisi UU baru dan bakal menggabungkan kedua lembaga ini ke dalam satu pengaturan.


Sehingga harus secara proporsional membedakan mana-mana yang akan menjadi hak dan kewajiban dari kedua lembaga (lembaga penyiaran dan platform digital).


“Dari sisi lainnya, platform digital tidak dapat disamakan dengan lembaga penyiaran karena memiliki karakter dan fungsi yang berbeda secara fundamental. Lembaga penyiaran bersifat kuratif, mengelola dan mengontrol isi siaran berdasarkan prinsip jurnalistik dan etika profesi serta bertanggung jawab atas isi kontennya,” lanjut Ramli.


Sementara itu, platform digital UGC seperti YouTube, Instagram, dan TikTok membuka peluang bagi siapa saja menjadi kreator konten hanya dengan bermodal smartphone dan koneksi internet.


“Menyamakan platform digital dengan lembaga penyiaran tidak produktif bagi industri penyiaran itu sendiri, industri pers, maupun untuk publik yang mengkonsumsi informasi. Platform digital seperti UGC lebih berperan sebagai perantara atau hosting provider tempat publik mengunggah konten secara langsung tanpa kurasi atau verifikasi yang memadai,” ujar Ramli.


TEBAK SKOR GRATIS BERHADIAH UANG 1.5 JUTA RUPIAH , KLIK DISINI !!!



Diberdayakan oleh Blogger.