Header Ads

Header ADS

Cara Baru Pemerintah Memburu DJP Mata-Matai Pengguna Medsos Untuk Kejar Pajak

 


Sejak 2016, DJP sudah aktif menjadi mata-mata di berbagai platform media sosial, mulai dari Twitter, Instagram, hingga Facebook.


Rencana pemerintah untuk memburu potensi pajak dari media sosial menjadi sorotan publik beberapa waktu belakangan. Isu ini muncul usai Wakil Menteri Keuangan, Anggito Abimanyu, memaparkan upaya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mempertebal kantong penerimaan melalui perumusan kebijakan analisis data maupun jejak wajib pajak pada layanan jejaring sosial berbasis daring.


Untuk mendukung strategi pengelolaan penerimaan negara tersebut—beriringan dengan upaya lain seperti ekstensifikasi penerimaan negara, penanganan keberatan/banding/gugatan, pelayanan hingga edukasi, serta pengawasan dan penegakan hukum—Kementerian Keuangan mengajukan anggaran tambahan sebesar Rp366,42 miliar dari pagu sebelumnya yang sebesar Rp1,63 triliun pada tahun depan.


Meski demikian, langkah optimalisasi data dan pemantauan aktivitas wajib pajak di ranah maya bukanlah hal baru. Sejak 2016, DJP sudah aktif menjadi mata-mata di berbagai platform media sosial, mulai dari Twitter, Instagram, hingga Facebook.



Dalam hal ini, kantor pajak menggunakan sistem social network analytics (Soneta) untuk merekam seluruh data wajib pajak mulai dari kepemilikan saham, jaringan bisnis, sampai hubungan keluarga.


Analisis data yang dikumpulkan dari pemantauan media itu kemudian dijadikan landasan para fiskus untuk memperkirakan besaran Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang seharusnya dibayarkan oleh wajib pajak.


Dalam penjelasannya usai rapat bersama Komisi XI, Selasa (15/7/2025), Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, juga menegaskan bahwa aktivitas tersebut bukanlah hal baru.


Ia menggarisbawahi kesalahan persepsi yang ada di masyarakat, yang menganggap seolah-olah pemerintah berniat menerapkan skema pemungutan pajak baru melalui platform media sosial. Padahal, menurutnya, pemantauan aktivitas media sosial dapat menjadi sarana untuk mengidentifikasi kemungkinan ketidaksesuaian antara laporan pajak dan kepemilikan aset.


"Misalnya, siapa tahu ada aset yang belum dilaporkan yang berbeda sama SPT dan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara," ujar Bimo.


Mantan Tenaga Ahli Utama di Kantor Staf Presiden ini menambahkan bahwa pemanfaatan teknologi machine learning dan artificial intelegence (AI) diperlukan sebagai bagian dari moderasi sistem perpajakan.


"Sekarang kan AI itu sudah sangat bisa kita train untuk bisa melihat irregularities. Jadi prinsipnya seperti machine learning ya, dari pattern data yang ada. Kita lihat di sosial media activity-nya seperti apa, kalau orang pribadi," tutur Bimo. "Nanti dari pola data yang ada, SPT yang disampaikan 5-10 tahun terakhir," sambungnya.


Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI), Prianto Budi Saptono, menuturkan bahwa pemerintah memang memiliki kewenangan untuk menjaring sebanyak-banyaknya informasi dari berbagai sumber untuk optimalisasi penerimaan negara.


Hal ini tak terbatas hanya pada wajib pajak pribadi, melainkan juga badan usaha yang juga berpotensi tidak patuh dengan melakukan penghindaran pajak (tax avoidance) maupun penggelapan (tax evasion).


"Sesuai Pasal 35A Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP), pemerintah dapat mengumpulkan banyak informasi dari berbagai sumber, termasuk media sosial dan pemanfaatan AI. Terlebih lagi, teknologi yang dibenamkan ke Coretax juga sudah mengadopsi Artificial Intelligence (AI)," ucapnya saat dihubungi Tirto.


Namun demikian, ia belum dapat memprediksi seberapa besar efektivitas upaya tersebut jika nantinya menjadi sebuah kebijakan yang bersifat administratif.


"Pertanyaan tentang seberapa efektif atas aturan yang belum atau baru akan diimplementasikan tidak dapat dijawab secara akurat. Kata efektif berkaitan dgn suatu target yang dapat dicapai 100 persen," imbuhnya.


Sementara itu, Konsultan Pajak dari Botax Consulting Indonesia, Raden Agus Suparman, menilai bahwa upaya pemantauan media sosial oleh DJP masih kurang efektif untuk pengawasan kepatuhan pajak. Alasannya, jejaring sosial daring belakangan lebih banyak digunakan untuk pencitraan, alih-alih menggambarkan kemampuan ekonomis dan penghasilan wajib pajak.


"Beberapa Wajib Pajak yang diklarifikasi oleh kantor pajak terkait data di media sosial, banyak yang gugur. Maksudnya, Wajib Pajak menolak info di media sosial," jelasnya.


Ia memberi contoh pada kasus dipanggilnya musisi sekaligus dokter spesialis Teuku Adiftrian alias Tompi oleh petugas pajak akibat konten YouTube rumah mewahnya. Dalam sebuah tayangan di kanal YouTube Atta Halilintar, nilai rumah Tompi disebut-sebut mencapai Rp150 miliar.


Namun, ketika pemanggilan dilakukan oleh petugas pajak, Tompi menyanggah bahwa harga rumahnya sebesar itu.


"Memang media sosial tidak bisa jadi pegangan atau dasar perhitungan pajak terutang. Tetapi kalau untuk identifikasi gaya hidup, bisa jadi acuan," tutur Agus.


TEBAK SKOR GRATIS BERHADIAH UANG 1.5 JUTA RUPIAH , KLIK DISINI !!!


Diberdayakan oleh Blogger.