Pak Polisi, Pilih Lindungi Masyarakat atau Bandar Judi?
Judi online digerebek, pemain ditangkap, bandarnya bebas. Publik pertanyakan keberpihakan polisi.
Upaya pemberantasan judi online (judol) di Indonesia agaknya berada di tahap memuakkan bagi masyarakat. Penindakan hukum dan pencegahan yang dilakukan pihak berwenang tak mampu membabat praktik judol hingga ke akar-akarnya.
Kejengahan ini semakin menebal di tengah masyarakat dengan kecurigaan adanya ‘main mata’ antara aparat penegak hukum dengan pengelola atau bandar judol.
Kasus judol di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), baru-baru ini menjadi sorotan publik. Kepolisian Polda DIY berhasil membekuk lima pemain judol yang beroperasi di sebuah rumah di Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, 10 Juli 2025.
Polisi menangkap mereka karena disebut membobol situs judol atau mengakali sistem agar terus-menerus meraih kemenangan dari tangan bandar atau pengelola situs.
Di sinilah polemik bergulir, masyarakat mempertanyakan mengapa polisi justru membekuk para pemain judol alih-alih menggulung bandar judi yang mengelola situs. Terlebih, Polda DIY membeberkan penangkapan lima pemain judol dilakukan dalam rangka menindaklanjuti laporan dari masyarakat.
Akhirnya muncul kecurigaan dari warganet, kalau polisi justru terkesan lebih melindungi situs judol atau bandar judi yang dirugikan para pelaku.
Kecurigaan masyarakat berdasar dan menjadi hal yang sah dalam suatu proses penegakan hukum yang transparan dan adil. Resistensi polisi mengungkap pelapor dalam kasus ini tak ayal mengundang tanda tanya.
Peneliti bidang kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menilai wajar bahwa masyarakat menaruh praduga atas tindakan polisi. Pasalnya polisi sudah mengungkap bahwa penangkapan para pemain judol yang mengakali situs itu berasal dari laporan masyarakat alias laporan model B.
“Laporan model B itu harus jelas siapa subjeknya. Subjek pelapor ini adalah pihak yang dirugikan atau korban. Kalau tidak jelas, memangnya hantu yang lapor,” ujar Bambang kepada wartawan Tirto, Kamis (7/8/2025)
Laporan Polisi terdiri atas model A dan model B, yang mengacu pada aturan di Pasal 3 ayat (5) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.
Laporan Model A adalah laporan polisi yang dibuat oleh anggota Polri yang mengalami, mengetahui atau menemukan langsung peristiwa yang terjadi. Sementara, laporan model B adalah laporan polisi yang dibuat oleh anggota Polri atas laporan yang diterima dari masyarakat, sebagaimana Pasal 3 ayat (5) huruf (b) Perkapolri Nomor 6 Tahun 2019.
Alur pelaporan model B, masyarakat melaporkan peristiwa pidana kepada kepolisian yang ditindaklanjuti sentra Pelayanan Kepolisian dengan membuat Surat Tanda Bukti Laporan.
Sentra Pelayanan Kepolisian mencatat peristiwa pidana di buku besar dan membuatkan laporan Polisi delapan rangkap meliputi: satu untuk arsip, empat pemberkasan perkara, dua untuk kejaksaan, dan satu untuk pengadilan yang akan ditandatangani oleh kepala polisi di satuan wilayah yang bertugas. Setelah tanda tangan pimpinan, laporan polisi diserahkan kembali pada bagian Sentra Pelayanan Kepolisian.
Karenanya menurut Bambang, Polda DIY harus bisa menjelaskan apa dasar penangkapan pemain judol tersebut. Kalau laporan model B, anggota masyarakat yang melaporkan juga dapat dibuka agar terjadi transparansi di masyarakat.
Kepolisian juga perlu menjelaskan siapa bandar judi yang dirugikan dan kenapa bandar itu juga tidak ikut ditangkap. Kasus ini, kata Bambang, jangan sampai mengonfirmasi asumsi yang sudah beredar di masyarakat selama ini, bahwa bandar judol dibekingi aparat penegak hukum.
“Sehingga yang ditangkap hanya pemain, dan bandar dibiarkan,” ujar Bambang.
TEBAK SKOR GRATIS BERHADIAH UANG 1.5 JUTA RUPIAH , KLIK DISINI !!!